Kamis, 12 Januari 2012

Kajian ‘Hukum Dalam Masyarakat’.

Mengakui adanya ciri historisitas yang melekat pada eksistensi hukum undang-undang, orang sebenarnya akan bisa segera tersadar bahwa hukum nasional itu tak akan berkepastian tinggi sebagaimana yang diperlihatkan hukum-hukum empirik di wilayah kajian sains fisika.  Adagium kepastian hukum yang menurut doktrinnya dilekatkan pada eksistensi hukum undang-undang yang positif itu sebenarnya hanyalah suatu pernyataan yang hanya akan bisa diterima dalam makananya yang relatif.  Sepanjang sejarah, hukum akan berubah sejalan dengan perubahan jaman.  Dari kajian hukum positif ini pulalah lahirnya kajian ‘hukum dalam masyarakat’ yang berfokus pada kajian text in context.
          Kajian-kajian tekstual terhadap hukum berkembang dengan sebutan jurisprudentia sepanjang abad 18-19 di negeri-negeri kelahirannya.  Kajian ini banyak berseluk beluk dengan upaya mensistematisasi berbagai produk perundang-undangan berikut prosedur-prosedur pendayagunaananya serta ajaran-ajaran yang menjadikan preskripsi-preskripsi undang-undang yang bertebaran itu terorganaisasi ke dalam suatu sistem yang logis dengan koherensinya pada tarafnya yang tinggi.  Tetapi, sudah pada belahan kedua abad 19 yang bersiterus ke abad 20, tatkala industrialisasi dan urbanisasi telah serta merta menyebabkan terjadinya perubahan masyarakat yang sungguh eksponensial, dorongan untuk juga mempelajari teks-teks itu — ialah sehubungan dengan perubahan konteks-konteksnya – dengan segera saja menguat.
          Meningkatnya migrasi dan urbanisasi yang kian membikin komplek secara drastik  heterogenitas dan pluralitas kehidupan, atau pula maraknya kekumuhan dan kemiskinan yang berseiring dengan terjadinya massa pekerja pabrik dan kejahatan yang merebak di kota-kota, adalah dua-tiga contoh saja dari sekian banyak perkembangan sosial-ekonomi yang menuntut terwujudnya sistem normatif baru guna menjamin terwujudnya tertib kehidupan yang baru pula.  Sebelum datangnya masa krisis dengan segenap kerisauannya itu, para pemikir besar di bidang filsafat sosial amatlah berkeyakinan akan kebenaran paham progresisme.[4]  Ialah paham yang bertolak dari suatu paradigma saintisme yang empirik dan positif, bahwa perubahan macam apapun yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudahlah pasti akan selalu berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada yang sudah-sudah.
          Adalah kenyataan bahwa transisi-transisi transformatif yang pesat dan tertampak sebagai kenyataan sosiologis itu tak bisa secara cepat diimbangi oleh pembaharuan dalam seluruh tatanan  perundang-undangan yang ada itu.  Syahdan, ketertiban lama yang mendasarkan diri pada ketentuan-ketentuan preskripsi yang lama nyata kalau sudah tidak lagi dapat memberikan jawaban kepada berbagai permasalahan baru yang bermunculan. sedangkan norma-norma baru belum juga kunjung juga dapat menjawabnya.  Merespons kenyataan seperti ini, sosiologi – dan demikian pula cabang-cabang spesialisasinya yang segera berkembang kemudian, antara lain sosiologi hukum – segera saja marak sebagai hasil  pemikiran mereka ÿÿng risau dengan permasalahan yang tak segera terjawab oleh hukum dan ilmu hukum.
          Pendayagunaan kajian sosilogik inilah yang kemudian memperkuat daya kerja ilmu hukum, dari kajian-kajiannya yang terlalu murni — yang mengkaji hukum dengan keyakinannya yang doktrinal namun sempit akan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu yang tersendiri, sui generis – menjadi suatu studi yang lebih berufuk luas.  Membuka diri untuk memanfaatkan hasil kajian-kajian ilmu sosial yang marak sejak belahan akhir abad 19, sudah pada pertengahan abad 20 ilmu hukum telah memiliki karakternya yang baru sebagai apa yang disebut ‘in-between jurisprudence’.         
          Istilah ‘in-between jurisprudence’ ini memang sering mengundang kontroversi, apakah kajian ‘hukum dalam masyarakat’ itu sesungguhnya  terbilang ilmu hukum (jurisprudence) ataukah sudah bergeser menjadi kajian yang sudah lebih masuk ke ranah ilmu-ilmu sosial yang lebih empirik (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan ‘apa yang terjadi’ dan ‘mengapa sampai terjadi’) daripada yang normatif dan/atau preskriptif (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan ‘bagaimana seharusnya bertindak’).  Pendapat yang menolak kajian ‘in-between jurisprudence’ sebagai kajian hukum menyebut kajian yang berada di wilayah abu-abu ini sebagai kajian sosiologi hukum yang tak ada gunanya bagi praktik hukum kaum profesional.  Sementara itu, mereka yang mau menerima kajian yang satu ini sebagai kajian ilmu tentang hukum menyebutnya dengan istilah ‘hukum dalam masyarakat’.